Sastra dan interaksi manusia di era perbukuan digital (e-book) telah menghadirkan suasana batin pembaca yang berbeda dari kebiasaan aktivitas baca buku fisik kini beralih ke buku elektronik dengan memanfaatkan kecanggihan aplikasi digital literasi.
Keterampilan para penulis di zaman kini dan para founder penerbit buku indie telah menawarkan arah baru dalam meningkatan budaya minat baca di kalangan masyarakat, yang notabene-nya piawai dan akrab dengan alat teknologi, smartphone, laptop dan tablet.
Terkait pergeseran interaksi manusia di ranah pergaulan ruang digital telah memberi dampak fenomena sosial serta semua pengguna sosial media harus tahu cara beretika dalam menggunakannya. Perkembangan dunia sastra di era kemudahan digital pun melahirkan inovasi didalam penerbitan buku, penulis-penulis pemula seperti saya diberi ruang oleh beberapa aplikasi menulis online untuk berkarya dan menerbitkan buku.
Tentu bagi penulis sendiri yang pernah mengenyam di pesantren “nyantri” memiliki visi-misi bahwa sebuah gagasan yang tertuang menjadi tulisan harus juga memilki nilai-nilai toleransi khas kaum santri melalui gerakan literasi menulis santri yang penulis tawarkan dalam bentuk Komunitas Gerakan Penulis Santri (GPS) yang pegiatnya adalah santri dan alumni Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Jawa Barat dimana penulis merupakan alumni pesantren tersebut.
Narasi-narasi keislaman melalui produk karya tulisan menjadi pertanda bahwa santri telah berperan dan berkontribusi bagi dunia literasi di Indonesia hari ini.
Bagi para santri yang berkecimpung di industri media dan memiliki teoritisi komunikasi sendiri, yang paling penting adalah mencermati karakteristik masing-masing medium informasi, pengembangan sastra pesantren dan komunikasi massa, serta para santri mampu menyiasati karakteristik tersebut untuk mengoptimalkan fungsi dan peran penulis santri, berlatar-belakang orang-orang pesantren di tengah siklus perkembangan dunia sastra santri pada dewasa ini.
Oleh karenanya, di sinilah letak urgensi moralitas kehadiran akhlak santri menjadi moralitas mutlak yang diperlukan dalam produksi karya sastra, sehingga khalayak (pembaca) mendapatkan aspek terbaik dari budaya baru literasi digital dan penerbitan digital yang kian berkembang dengan sangat pesat.
Dalam hemat penulis, menjadi penulis sukses itu haruslah peka dan berani melangkah, serta dahsyatnya kemauan mengembangkan dakwah dengan ragam karya sastra.
Pasalnya, para santri yang secara serius menggeluti dunia kepenulisan atau akan menjadi seorang penulis juga harus mempunyai digital skills, mengingat semua aspek bidang keilmuan terkini telah bertransformasi ke industri digital.
Dengan menulis, para santri memiliki support system-nya sendiri, dan berkhidmah melalui karya sastra bagi perkembangan dunia literasi hari ini.
Karya-karya tulis dalam bentuk apapun yang dihasilkan santri baik berupa fiksi maupun nonfiksi itu menjadi bentuk bakti kaum santri kepada NKRI melalui bidang literasi.
Rasanya tidak terlalu berlebihan, jika dikatakan bahwa tidak cukup jika seorang santri di zaman kemudahan digital kini yang sudah hidup berdampingan dengan alat-alat teknologi itu hanya mengandalkan mimbar-mimbar di masjid saja sebagai panggung orasi mereka untuk menyebarkan dakwah serta melanjutkan ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin kepada masyarakat.
Tetapi juga perlu para santri menyampaikan esensi berdakwah tersebut melalui tulisan atau narasi-narasi yang menyejukkan umat, dalam hal ini khususnya para warga nahdliyin yang dapat mendorong semangat umat dan menjadikannya sebuah karya tulis yang enak dibaca.
Sebagai komunitas yang menampung seluruh santri yang ada di Indonesia, AIS Nusantara (Arus Informasi Santri) juga telah aktif berperan dalam meningkatkan pemberdayaan santri di berbagai aspek bidang keilmuan termasuk bidang literasi digital dengan menyelenggarakan program-program AIS Nusantara yang berkaitan dengan dunia literasi santri.
Gerakan AIS Nusantara di bidang pengembangan keagamaan (diniyah) melalui ruang digital pun sudah sangat dirasakan manfaatnya oleh seluruh komponen pesantren dan santri, namun dalam gerakan kepesantrenan ini belum optimal, dan masih perlu untuk memaksimalkan peran aktifnya AIS Nusantara dalam meningkatkan gerakan literasi.
Termasuk di ranah pemikiran (intelektual) yang penulis meyakini, bahwa pesantren-pesantren di Indonesia ini memiliki banyak sekali pemikir-pemikir islam, peneliti, aktivis sosial, sastrawan yang berlabel santri, sehingga dapat dijadikan teladan melalui produk-produk karya tulisnya.
Tentu ada beragam peran kaum santri yang meliputinya serta gagasan-gagasan khas santri yang memberi asupan intelektual dan benefit spiritual serta membentuk laku akhlakul karimah di ranah sosial media, ialah apa saja yang mendefinisikan sesuatu gagasan, ide, pemikiran dan kebebasan berpendapat (kebebasan berekspresi) yang didasari oleh berbagai disiplin ilmu yang diajarkan oleh para Kiai dan Bu Nyai di pesantren-pesantren.
Hal ini akan membuat santri lebih produktif di zaman literasi digital dan menjadi mesin penggerak kebudayaan dari permenungan pemikiran yang melahirkan gagasan-gagasan segar dan dituangkan menjadi tulisan. Penulis meyakini, kaum santri akan menjadi titik sentrum arah baru bagi peradaban literasi dan dunia sastra pesantren di masa mendatang.
“Menulislah, karena menulis bisa menjadikanmu lebih optimis, humanis sekaligus romantis”
Penulis, Abdul Majid Ramdhani.
Comment here