www.aisnusantara.com – Belajar ke Eropa memang diimpikan banyak orang, bagi saya hal itu menjadi keberuntungan besar di satu sisi menjadi perjalanan spiritual juga. Hal ini meyakinkan saya bahwa bumi Allah itu luas, dan ilmu Allah itu tak terbatas. Banyak pendatang luar yang tinggal di negara kelahiran salah satu pemusik legendaris Mozart untuk sekedar liburan, atau bahkan tinggal selama puluhan tahun bahkan menjadi warga negara Austria kemudian. Kota ternyaman di dunia dalam studi dan penelitian dari Mercer tahun 2016 menjadi kota layak huni (Merinda: 54). Walaupun kota bersejarah ini tenang dan menyenangkan namun tak sepi dari pengunjung. Bangunan-bangunan yang berada di kota ini mungkin lebih tua dari 200 tahun, tetapi masih kokoh dan bisa digunakan sebagaimana biasa. Betapa kagumnya melihat istana-istana yang artistik dibangun pada masa itu dan masih berdiri kokoh hingga sekarang. Apartemen, maupun gedung-gedung yang dibangun sekalipun masih bersisa tembok yang berlubang karena tembusan peluru pada perang dunia II. Termasuk main buiding di univeristas di mana saya belajar yang berdiri dengan lima lantai tanpa lift.
Di univeristas ini, banyak mahasiswa internasional tentu dengan budaya mereka masing-masing. Dalam beberapa diskusi di perkuliahan maupun di luar atmosfer akademik orang Indonesia, Persia, dan bahkan orang Austria sendiri selalu ada pembicaraan tentang Islam. Bahkan dalam sebuah seminar seorang professor dari Denmark juga membicarakan tentang kyai. Jangan heran jika di sini banyak kajian mengenai Islam, museum sejarah Islam pun ada di sini. Woww amazing… Negara yang saya pikir “bebas” , agama bukan menjadi sebuah kewajiban, namun mereka membicarakan mengenai Islam. What a wonderful Islam, isn’t it? Betapapun di setiap kelas atau pertemuan saya meski menjadi satu-satunya wanita berjilbab, let it go aja.
Setelah tujuh hari berada di sini, saya menemukan komunitas Islam di Indonesia called WAPENA (Warga Pengajian Muslim Wina Austria) yang kegiatannya tidak hanya pengajian saja, di luar itu juga ada seperti tari Saman, dsb. Hari ke sepuluh saya mencoba pergi ke Islamic Zentrum di situlah terdapat masjid yang letaknya berada di pinggir danau di daerah Neue Donau. Sungguh indah bukan? Saya merindukan suara adzan, dan shalat berjamaah. Saya putuskan untuk menunggu shalat dzuhur di sana. Banyak orang berdatangan ketika waktu shalat, mereka datang dari berbagai belahan dunia. Ada yang berasal dari Turki, Persia, India, dsb dengan berbagai cara sholat yang bermacam-macam. Jarak shalat antara shalat dzuhur, ashar, maghrib yang agak terlalu pendek mendorong saya bersiasat dalam mengatur waktu agar saya tidak ketinggalan shalat, selain karena tempat shalat juga sulit ditemui, kecuali di kos (. Padahal kebanyakan orang berkegiatan pada jam dzuhur sampai magrib kadang isya. Tak mungkin jika saya harus shalat ke Masjid WAPENA maupun Masjid Islamic Zentrum yang memakan waktu 45 menit naik U-bahn sekali jalan.
Di sini banyak makanan halal karena kedatangan orang Turki, Pakistan, dsb. Selain itu memang warga Austria sudah sadar bahwa daging babi tidak sehat. Namun, di setiap tempat makan, selain restauran tempat makan yang ownernya orang turki selalu ada wine, di setiap minimarket bahkan disediakan. Tetapi saya bersyukur sekali karena dengan memakai jilbab orang tidak akan menawarkan makanan atau minuman di luar koridor agama saya. Di negara di mana Sigmund Freud pernah mengadakan penelitian tentang mimpi dan alam bawah sadar yang hasilnya terangkum dalam sebuah buku yang berjudul “The Interpretation of Dreams” ini orang tidak pernah mempertanyakan lagi apa agamamu, apa aliranmu? Semua berjalan sesuai keyakinan masing-masing, namun tetap hormat pada perbedaan yang ada. Betapapun banyak pendapat orang Islam ketika sampai di sini, kamu harus memilih tetap menjadi orang alim atau bukan sekalian, namun agaknya banyak yang mengambil jalan tengah.
Saya menjadi lebih bersyukur betapa saya sebelumnya tinggal di dekat masjid, mudah menemukan tempat sholat dimanapun, mendengar adzan di setiap waktu shalat, mendengar sholawatan, mengaji Qur’an setiap hari. Betapapun saat ini saya belum bisa melakukan hal yang sama di Indonesia saya bersyukur masih diberi nikmat iman Islam dan kasih sayang Allah yang nyata.
Oleh: Nurul Friskadewi, MA, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu-ilmu Humaniora UGM, Forsil Mahasiswa NU S2-S3 UGM
Comment here