Uncategorized

Transformasi dan Komitmen Pribadi Kepada Perdamaian

Oleh: Wahid Abdurrokhman
Pengentasan kebencian dan kekerasan sebenarnya bermuara pada intoleransi individu maupun kelompok. Manufer – manufer yang dikerahkan para cendikiawan sudah sangat jelas mengenai transformasi kebencian menuju keramahan dan begitu pula kepada kekerasan menuju kecintaan dan kesukaan terhadap satu sama lain. Bila dirujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia kekerasan merupakan perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cidera (fisik) atau matinya orang lain, hal ini hasil limpahan dari perasanan yang negatif atau ketidak sukaan seseorang dan kelompok kepada seseorang dan kelompok lainnya. Begitu pula kekerasan mengacu pada psikis manusia yang dapat terganggu atau rusak bila mendapati tindakan – tindakan amoral dan kekerasan psikis. Dengan cara fisik seperti memukul dan menendang, cara verbal seperti ucapan yang tidak berkenan, penghinaan, dan ditakut – takuti, kemudian dengan cara penekanan financial yang mengakibatkan depresi hingga strespun adalah hasil dari beberapa cara kekerasan.
Tumpuan yang mendorong manusia khususnya Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bertransformasi kepada perdamaian ada pada Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD 1945 yang menjadikannya pilar kebangsaan warga Indonesia dan sebagai komitmen berbangsa dan bernegara dengan penolakan keras terhadap kekerasan dan kebencian antara suku, agama, ras, dan antar golongan. Asumsi sudut pandang kehidupan manusia yang berbeda mendedikasikan hidup orang lain dan kelompok lain untuk tidak selalu sama dan benar. Ketika pandangan hidup seseorang di klasifikasikan dari asalnya akan terbagi menjadi tiga, antara lain:
  1. Pandangan hidup yang secara mutlak dari Tuhan yang terorganisir oleh agama untuk menempatkan diri dari kehidupan dunia
  2. Pandangan hidup yang berasal dari sebuah nalar manusia yang kemudian dijadikan sebagai ideologi untuk menjalani kehidupan
  3. Pandangan hidup yang dihasilkan malaui mediasi (renungan) yang menitik beratkan relativitas dalam kehidupanya

Ciptaan Tuhan yang berupa panca indra memproyeksikan bagaimana seseorang memandang hidupnya dalam kehidupan di dunia. Kodrati manusia yang sempurna akan memasuki ruang nalar yang ditunjang oleh sistem logika dan bahasa, dari kinerja pemahaman manusia yang terbentuk dalam prinsip dasar berpikir akan terbagi menjadi rasionalis dan empiris, yang mana memiliki hasil yang sama yaitu harmonis dan positivisme. Karenanya tidak dikatakan sudut pandang manusia yang benar bila implikasinya pada tindakan kekerasan dan rasa benci, padahal ujung dari sudut pandang (pemahaman) manusia itu sendiri ialah positivisme. Maka tidak heran filusuf ternama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al – Ghazali menekankan pada keberadaan dalam sebuah keyakinan mulai dari tahap ‘ainul yaqin, ‘ilmu yaqin, hingga haqqul yaqin, sudah dapat terdeskripsikan bahwa tidak dipermasalahkannya suatu perbedaan sudut pandang hidup bila akhirnya sampai pada   kebaikan yang merujuk kepada Sang Pencipta Kebaikan.
Ketika wujud dari kebaikan adalah conscious (kesadaran) dalam diri manusia untuk hidup damai, tentram, sejahtera, aman, dan bersahaja maka akan terbangun pula konsepsi perdamaian (human peace). Jika konsepsi perdamaian sudah tertanam dalam individu, pola dinamika kehidupan yang berbeda – beda dan persoalan yang sukarpun dapat teratasi, namun hal ini tidak seperti membalik telapak tangan, kebencian yang hadir dalam hati (perasaan) manusia lalu di monitoring oleh akal pikiran manusia menjadikan kebencian sebagai stimulus untuk terakreditasinya kekerasan yang nyata dalam kehidupan manusia.
Lingkungan juga berkontribusi untuk terselenggaranya kebencian dan kekerasan maupun sebaliknya untuk terselenggaranya kedamaian dan kasih sayang, dari lingkunganpun kita semua wajib membangun lingkungan sosial primer dengan cara pendekatan – pendekatan sosial dan interaksi sosial yang baik agar kekuatan ikatan antar manusia bisa terjaga dengan benar dan menciptakan konesivitas. Wacana lingkungan sosial primerpun menjadi ranah dari usaha perdamaian kaum pemuda pemudi di Indonesia, mulai dari sektor formal, informal, hingga nonformal. Sedikit demi sedikit gagasan – gagasan yang penuh tantangan terapresiasi oleh kaum elit dan para tokoh, dengan mengkultuskan kasih sayang dan perdamai antar manusia bagian dari akhir usaha para kaum pemuda pemudi Indonesia.
Analisa yang tepat mengenai kekerasan dan kebencian di ruang lingkup lingkungan sosial primer ada pada pendidikan, bagaimana pendidikan tersebut merekrut individu atau kelompok yang belum paham sama sekali mengenai perdamaian dan kasih sayang. Perihal perekrutan tersebut tertuang dalam transformansi perdamaian dan kasih sayang melalui pendidikan sangat akurat dengan memperhatikan learning to know, learning to do, learning to be, dan  learning life together sebagai pilar dari sebuah pendidikan. Kritisalisasi dari sebuah pendidikan dan terpublikasikan memunculkan kesadaran penuh dalam perdamain dan kasih sayang dengan mengedepankan potensi yang dimiliki yang kemudian tertuang dalam sebuah prestasi.
Pendidikanpun akan menciptakan sebuah karakter, dan karakter yang sangat dibutuhkan dalam transformasi dan komitmen pribadi manusia pada perdamaian, teknis pendidikan karakterpun semakin dikembangan dengan beberapa unsur, yaitu:
  1. At – tawassuth, sikap ini yang membawa karakter manusia menjadi moderat dengan mempertimbangkan penilaian dan pengukuran suatu pandangan dan tanpa adanya sepihat kepada salah satu sudut pandang manusia.
  2. At – tawazun¸ terjadi bila adanya keseimbangan antara tekstual dan kontekstual kemudian antara rasionalisme dan empirisme.
  3. Al – I’tidal, suatu penegakan kebenaran tanpa pandang bulu yang hakikatnya berupa amanah dari Tuhan.
  4. Tasammuh, saling menghargai (toleransi) sangat dan harus dikukuhkan pada diri seorang manusia, agar dapat mengetahui hakikat sebagai manusia.

Pembentukan karakter tersebut sangat kompleks sekali dengan pendidikan yang secara garis besar memanusiakan manusia, didorong pula dengan pengetahuan yang didapat secara teoritis, skill (keteramilan), dan relasi sosial. Cara transmisi dan transformasi pendidikan untuk perdamaian dan kasih sayang merujuk kepada nilai – nilai, norma – norma, dan regulasi kehidupan, jadi bukan hanya sekedar materi – materi tentang perdamaian dan kasih sayang yang disampaikan.
Bila cara penyampainya salah atau tidak mengena maka akan gugur pula reformasi perdamaian dan kasih sayang antar umat manusia sebagai penghuni dunia. Sederhananya kesuksesan orang – orang disekitar kita yang meninggalkan kekerasan dan kebencian dapat dinilai dan dievaluasi berdasarkan Pancasila, Bhineka tunggal ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia,Undang – undang 1945.
Terlebih dari kesuksesan perdamaian ada sebuah literasi yang menyatakan:
…. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ….
Sangat terang sudah pembukaan Undang – undang dasar 1945 memberi solusi masalah kekerasan dan kebencian di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan 5W + 1H dan bahasa yang sopan kita dapat merumuskan dan menganalisis tindakan kekerasan dan kebencian yang menerpa warga Indonesia, sembari berMoU tentang komitmen perdamaian dan perbedaan sudut pandang manusia.
Oleh karena itu kita selaku manusia dikatakan manusia bila tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama manusia dan makhluk ciptaan-Nya, manusiapun dikatakan manusia bila tidak membenci antar manusia lainnya walaupun tejadi sudut pandang kehidupan yang berbeda. Gerakan yang berakhlak, bermorak, dan beretika tidak bisa disalah untuk mengatasi dan memberikan solusi terhadap konflik – konflik manusia yang berkenaan terbentuknya sebuah smaal group yang akan terus menata pranata sosial yang terkena konflik – konflik sosial yaitu kekerasan dan kebencian antar sesama manusia. Mulai dari peran dan kinerja para pemuda pemudi yang mendorong untuk mempunyai karakter dan jati diri bangsa akan terealisasi dengan berkombinasinya spiritual, emosional, dan intelektual manusia yang berharap teraplikasinya dalam sebuah sifat kehati – hatian (waro), rasa tanggung jawab yang penuh, dan kesederhanaan dalam menjalani kehidupan di dunia. 

Comment here