Lompat ke konten

Apakah Kita Idola Mereka?

Hallo para pembaca yang berbahagia. Satu kata yang terucap adalah semangat, dan satu hal yang terlontar adalah senyum bahagia ketika saya masih bisa berbagi pengalaman dengan Anda semua. Sebuah inspirasi yang mungkin bisa menjadi motivasi bagi diri saya pribadi dan untuk para pembaca sekalian. 

Dalam pepatah Jawa mengatakan bahwa seorang guru akan selalu digugu dan ditru. Kata-kata yang bersimbol itu mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Ya, guru bisa dibilang idola murid-muridnya. Apa yang kita lakukan akan selalu diperhatikan dan menjadi sorotan mereka. Tanpa kita sadari gerak-gerik kita akan selalu dinilai dan tak lepas dari pandangan anak didik. Terkadang anak akan lebih percaya dan taat dengan apa yang disampaikan guru, daripada orangtuanya. Lalu, apa kita akan selalu diidolakan oleh anak didik kita? Pertanyaan itu yang sering menghantui dan muncul dalam benak saya.  

Menjadi pendidik itu adalah sebuah ladang kesabaran dan keikhlasan yang tak ternilai harganya. Karena kita menjadi pengganti orangtua ketika disekolah. Tidak semua anak didik kita akan selalu patuh kepada aturan yang kita buat. Tidak sedikit yang membuat kita lepas kendali. Apapun itu, kita tidak boleh dendam dengan sikap tersebut. Hilangkan dendam, dan jadikan itu sebagai ladang ibadah buat kita. Seorang guru itu akan diidolakan para siswanya jika mempunyai sesuatu yang berbeda dengan guru lain. Kenapa saya bisa berkata demikian? Karena itu adalah hal yang selama ini terlihat di hadapan saya. Sebuah kenyataan yang selalu saya amati. Senyum siswa yang ceria ketika bertemu dengan sosok idaman mereka. Hati yang gembira selalu terlintas pada senyum dan perkataan mereka. Sebuah pemandangan yang menyadarkan lamunanku. Lamunan impian yang selama ini menjadi PR dalam diri saya. 

Lalu guru idola itu yang seperti apa sih? Apakah cantik wajahnya? Ganteng? Lucu? atau galakkah? Berderet pertanyaan itu berjajar menunggu jawaban. Jejernya kereta api banyak yang antri, tapi jejernya pertanyaan ini siapa yang mau jawab? Sosok pemilik suara pelan ini akan menjawab. Para pembaca sekalian, jawaban ini adalah berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang saya lakukan dan saya alami. Wah, mesti pembaca sekalian bertanya-tanya, sebenarnya profesi saya itu pengamat anak atau guru? Bisa dibilang saya itu sambil menyelam minum air. Seorang pendidik sekaligus suka dunia tulis menulis. Saya pun juga ingin menjadi sosok yang selalu diidolakan sama anak didik. Ketika melihat guru yang selalu ditunggu-tunggu kehadirannya ketika mau masuk kelas. Hatiku bertanya, “ Kapan aku bisa seperti itu?” Setelah saya amati, ternyata ada sebuah kekhasan yang dimiliki pendidik tersebut. Kelucuan dan mimik muka yang selalu ekspresif ketika menyampaikan pelajaran. Itu salah satu kriteria guru idaman. Gali hal yang istimewa yang Anda miliki, untuk menjadi idola mereka. 

Kita tahu bahwa setiap orang punya karakter yang berbeda. Dan setiap orang juga tidak suka ketika dibandingakan dengan orang lain. Sayapun demikian, hati akan jengkel ketika mendengar perkataan perbandingan yang menyayat hati. Apakah kita harus sama dengan guru tersebut? Jawabannya adalah tidak. Kita punya potensi sendiri, gali potensi dan jadikan potensi kita sebagai tombak menuju jalan kesuksesan. Boleh melihat orang lain, tapi sebisa mungkin jangan meniru. Tunjukkan kalau kita punya sesuatu yang unik dan istimewa. Mungkin kebanyakan orang diluar sana melihat bahwa pendidik itu selalu dihargai dan menyenangkan. Memang benar, tapi tidak menutup kemungkinan, kita akan dihadapkan dengan  problem yang komplek. Orang hidup itu pasti punya ujian, tinggal kita yang menyikapi. Selain itu,  kita sebagai seorang guru memilki amanah yang wajib kita emban yaitu mencerdaskan anak bangsa dengan teladan yang baik. Yang penting kita ikhlas dalam mengajar. Hilangkan rasa gresulo, maka hati kita akan senang dan tidak merasa terbebani.

Para pembaca sekalian, tenyata guru galak itu tidak masuk dalam kriteria guru idaman. Mendengar langkah kakinya saja sudah tidak berani berkutik, apalagi bertatap muka. Wah, berarti serem banget ya? Hehehe. Menurut saya, guru galak itu dianggap momok bagi sebagian murid. Para murid akan sangat takut, ketika bertemu denganya. Memang ketika pelajaran murid-murid bisa terlihat  anteng dan manut. Tapi dibalik semua itu, ada luka yang terpendam dalam hati mereka yang terkadang akan berdampak pada sikapnya. Misalnya saja ketika belum dijemput ketika pulang sekolah, mau minta tolong untuk menelfonkan saja tidak berani. Padahal itu wali kelasnya. Fenomena itu yang pernah terlihat dihadapan saya. Ada sisi positif yang bisa kita ambil jika menjadi guru galak, yaitu pasti anak didik akan menurut dengan apa yang kita perintahkan, kelas tidak akan gaduh dan terlihat tertib. Tapi tanpa kita sadari bahwa itu akan mematikan mental siswa. Rasa takut yang terus menerus itu akan berakibat kurang baik. Entah berapa persen pelajaran yang bisa masuk ke otak. Memang mereka selalu mendengarkan, tapi hati dan perasaan mereka tidak senang. Bagai terkekang di kurungan.  Mereka seperti tersiksa dengan hal tersebut. Bisa jadi mau izin buang air kecil saja tidak berani, sampai-sampai ngompol di celana. Karena begitu takutnya untuk minta izin. Membuat anak-anak menjadi patuh tidak harus dengan bentakan dan kegalakan. Ketika saya menasehati murid dengan bentakan, murid tersebut akan diam dan patuh, tapi ternyata hasilnya hanya bertahan sementara. Selain itu akan timbul rasa kesal dan benci yang dilontarkan kepada kita. Hingga akhirnya kita disepelekan. Berbeda ketika kita menasehati dari hati ke hati. Memegang kepalanya dan berbicara dengan halus, anak akan merasa di sayang, diperhatikan, dan dihargai. Apa yang kita jelaskan ke anak akan lebih terserap. Itu akan lebih terkesan dihati anak. Semua butuh proses. Tidak ada yang instan untuk mewujudkan generasi yang berbobot.   

Pembaca sekalian, berusahalah menjadi pendidik yang diidolakan, berwibawa dan menyenangkan, bukan pendidik yang menyeramkan untuk anak-anak. Tarik mereka dengan pesona karakter Anda yang unik. Bentuk mental mereka dengan gebrakan yang positif. Dan jangan jatuhkan mental mereka dengan kekangan dihati. Semoga apa yang saya sampaikan ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian. Dan saya mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan di hati pembaca sekalian. 
Oleh: Dewi Mustika, S.Pd, Pengajar SDIT Nurul Akbar Klaten dan LTN PCNU Klaten

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *