Lompat ke konten

Arus Informasi bagi Santri, Kekosongan Literasi di Dunia Maya

aisnusantara.com – Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi informasi. Fenomena kecepatan perkembangan teknologi informasi ini telah merebak di seluruh belahan dunia. Tidak hanya negara maju, namun negara berkembang juga telah memacu perkembangan teknologi informasi pada masyarakatnya masing-masing. Sehingga teknologi informasi mendapatkan kedudukan yang penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Kecanggihan zaman telah merubah batas-batas kehidupan di dalam masyarakat. Dalam konteks Negara, batas wilayah antar negara juga tergerus dengan adanya kemajuan ini. Adanya internet, yang di dalamya termasuk media sosial menjadi salah satu jenis kecanggihan yang merubah batas kehidupan ini. Orang Indonesia bisa leluasa berselancar ke luar negeri, membuka dan mencari segala hal hanya cukup melalui internet. Jika secara fisik seseorang masuk ke Negara harus memiliki paspor dan dengan serangkaian pemeriksaan, maka dengan internet bisa memasuki Negara lain secara virtual tanpa batas. Kemudahan ini ditambah dengan cepatnya penemuan alat untuk mengakses layanan internet ini. Dahulu internet harus diakses melalui komputer, lalu laptop namun saat ini cukup lewat smartphone. Sehingga menjadi sangat mudah seseorang mencari informasi, ditambah biaya internet yang saat ini begitu murah dan sinyal kuat maka semakin mudah sekali orang mengakses setiap hal yang diinginkan.

Munculnya media internet berdampak dengan munculnya dunia baru yang benar-benar berbeda. Seiring dengan pemakaian jaringan sistem komputer yang mengunakan infrastruktur sistem telekomunikasi maka masyarakat penggunanya kemudian seolah-olah mendapati dunia baru yang dinamakan cyber space (Sanusi, 2005: 92 – 93). Ruang baru atau dunia baru inilah yang terjadi kekosongan untuk diisi dengan konten positif. Tanpa mengesampingkan atas manfaatnya, media sosial telah menghadirkan ancaman tersendiri bagi pemuda. Mulai dari penyimpangan, kejahatan sampai ancaman nasional tersedia di depan laptop atau smarphone pemuda. Penyimpangan dari media sosial ini seperti cybersex, phonesex, chatsex, pornografi, perselingkungan, lesbian, sex party, dan lain sebagainya. Alasan mereka melakukan itu selain karena sekedar untuk kesenangan namun juga karena alasan untuk ekonomi. Kejahatan dari media sosial ini adalah seperti mencuri data, mencuri uang, merusak data, prostitusi online, penipuan secara online dan sebagainya. Sedangkan ancaman nasional dalam media sosial ini adalah telah memasuki areal mempengaruhi atau berebut wacana di masyarakat. Di sini pula menyebaran isu secara masiv atau propaganda dilakukan untuk menarik merusak, menarik simpati, melindungi diri maupun untuk mengajak untuk bergabung. Terorisme dan radikalisme serta separatisme yang telah lama digerakkan secara langsung lewat bertatap muka, bergeser disebarkan melalui media sosial.

Ada salah satu sebab mengapa akun, konten dan website seperti itu masih tetap ada dan subur serta diminati. Penyebabnya adalah adanya kekurangan literasi dari kaum Islam Damai dan Nasional untuk mengimbanginya. Hal ini dibuktikan dengan adanya pemblokiran akun-akun berbahaya oleh pihak berwenang, namun akun-akun seperti itu tetap masih muncul dengan kloning-kloningnya. Selama ini organisasi-organisasi yang telah lama berdiri memiliki lahan dakwah sendiri, maka kaum radikalis dan teroris mencoba lahan baru yang belum disentuh oleh NU, yaitu dunia maya dan media sosial. Di sisi lain, nampaknya budaya tulis-menulis (literasi) Nahdlatul Ulama, sebagai pembela NKRI yang konsisten, mulai melemah khususnya untuk disajikan di dunia maya dan media sosial. Kekosongan ruang literasi di media sosial dan dunia maya inilah yang dipakai oleh kaum teroris dan radikalis untuk propaganda, perekrutan, pendanaan, pelatihan, perencanaan, penyebaran teror, dan cyberattack. Hal ini bukan hanya terjadi gesekan dengan NU, namun juga sudah mengarah untuk merong-rong Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Arus penyebaran konten positif memang sangat dibutuhkan. Karena kondisi saat ini membui generasi muda, bahkan orang dewasa juga untuk real time. Media sosia tersebut memungkinkan anggota untuk berinteraksi satu sama lain. Interaksi tidak terjadi hanya dalam pesan teks, tetapi juga termasuk dalam foto dan video yang mungkin menarik perhatian pengguna lain. Semua posting (publikasi) merupakan real time, memungkinkan anggota untuk berbagi informasi seperti apa yang sedang terjadi (Saxena dalam Nasrullah, 2015: 40). Jika salah salah menyebarkan pesan, foto dan video maka bisa tersandung kepada penyelewengan atau kejahatan bahkan bisa mengarah sebagai ancaman bangsa Indonesia. Seperti yang telah disebutkan, bahwa terjadi kekosongan, maka arah kegiatan kaum muda NU harus memberikan porsi lebih dalam mengisi kekosongan itu. Website, blog, instagram, facebook, twitter dan media sosial lainnya sangat bisa digunakan sebagai sarana menyampaikan Islam Damai, Islam yang Rahmatan Lil Alamin. Warga NU mulai memproduksi konten positif dan menyebar-luaskannya.

Sumber:
Nasrullah, Rulli.2015. Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Sanusi, M. Arsyad. 2005. Hukum Teknologi dan Informasi. Bandung: Tim Kemas Buku. 

Penulis: Minardi AIS NUsantara, LTN PCNU Klaten, Mahasiswa Pasca Sarjana Ketahanan Nasional UGM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *