Lompat ke konten

Tahukah Anda? Ternyata Wayang itu sebagai Gambaran Kehidupan Manusia



Wayang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Bahkan di beberapa Negara tetangga juga mengenal wayang namun dengan ciri khasnya masing-masing. Di Indonesia sendiri wayang memiliki banyak jenisnya, bahkan di setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing. Wayang berasal dari kata bayang-bayang (bayangan). Namun ada pula yang mengatakan bahwa wayang merupakan singkatan dari Wayahe Sembahyang atau waktunya beribadah. (Susilamadya, 2014: 3). Makna dari waktunya beribadah ini dimungkinkan karena wayang zaman Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga sebagai media untuk berdakwah. Karena memang Walisongo kala itu menyebarkan agama Islam tidak dengan menggunakan kekerasan melainkan dengan cara-cara damai dan mudah diterima serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu.


Wayang merupakan karya agung bangsa Indonesia. Banyak keistimewaan-keistimewaan di yang terkandung di dalamnya. Pagelaran wayang kulit purwa misalnya, memuat semua semua seni yang ada, mulai seni kriya, seni karawitan, seni pagelaran, seni sastra, dan seni-seni yang lain termasuk ajaran-ajaran kehidupan manusia. Ssemua digelar dalam satu waktu, dengan komando dari seorang dalang. Tidak heran jika pada tanggal 7 November 2003, PBB melalui UNESCO memberikan penghargaan kepada wayang Indonesia. Penghargaan tersebut menyebutkan bahwa wayang sebagai Karya Agung Warisan Budaya Dunia.

Ada sebagian anggapan bahwa wayang merupakan warisan agama Hindu. Sehingga ada pula yang mengatakan kalau wayang itu haram dan sebuah kesyirikan belaka. Padahal wayang telah lama ada sebelum Hindu masuk ke Tanah Air. Indikasi mengenai keberadaan wayang kulit di Jawa sudah ada sejak abad X SM (Brandon, dalam Umar Kayam 2001: 4). Karena pada sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Nusantara, di Nusantara ini telah ada sebuah kepercayaan yang oleh Agus Sunyoto disebut Kapitayan, yang secara serampangan disebut oleh Barat Dinamisme dan Animisme. Kapitayan inilah yang telah menggunakan media wayang dalam melakukan upacara keagamaannya. Biasanya upacara itu sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan setelah panen raya.

Di Jawa, wayang digunakan oleh Para Walisongo sebagai media dakwahnya. Walisongo tahu karakter dan kultur dari masyarakat Jawa yang halus, peka rasanya dan tidak suka pemaksaan serta tidak suka digurui. Maka wayang yang telah lama hidup di kalangan masyarakat ini dipakai oleh Walisongo untuk media dakwah. Terlihat dari sebuah tontonan, menggelar pagelaran wayang namun secara pelan-pelan dituntun untuk mengenal Islam. Masyarakat tidak merasa digurui apalagi dipaksa karena karena si dalang tidak menggunakan cara-cara kekerasan, tidak menggunakan dalil-dalil yang bagi masyarakat Jawa jlimet, dan menerima ajaran Islam dari dialog wayang-wayang yang digerakkan oleh dalang.

Di dalam wayang, dapat dilihat dari apa yang terlihat dan apa yang terkandung. Baik yang terlihat maupun yang terkandung masing-masing memiki makna yang dalam dan sebagai gambaran kehidupan manusia itu sendiri. Dari sisi yang terkandung di dalam pegelaran wayang kulit memuat ajaran tentang kehidupan. Dua babon lakon (induk cerita) dalam wayang kulit purwa yaitu Ramayana dan Mahabharata semua menceritakan tentang pertarungan antara baik dan buruk, dan yang baiklah yang pasti menang. Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangestuti, yang maknanya angkara murka yang gagah, perkasa, kaya, licik dan sakti tetap akan bisa dikalahkan dengan cinta kasih. Dalam Ramayana, Rahwana yang sakti, memiliki pasukan banyak dan tangguh, kaya raya, wilayahnya luas, ahli strategi dan licik ternyata bisa dikalahkan oleh Rama yang didukung oleh pasukan kera. Tidak habis pikir, mana mungkin pasukan kera mampu mengalahkan pasukan Rahwana yang tangguh, berupa raksasa (buta) dan telah sering memenangkan peperangan. Ada pula dalam Mahabharata, Pandawa yang hanya berjumlah lima orang ternyata mampu mengalahkan Kurawa yang berjumlah 100 orang ditambah para sekutunya. Sudah terlalu sering Pandawa didzolimi oleh Para Kurawa dengan berbagai akal liciknya namun tetap saja Pandawa lolos bahkan mendapatkan kegembiraan-kegembiraan setelah penderitaannya.

Sejatinya wayang merupakan gambaran kehidupan manusia itu sendiri. Wayang merupakan bayangan kehidupan manusia itu sendiri. Wayang merupakan cerminan dari tingkah-polah manusia manusia di dunia ini. Dunia pewayangan ikut serta mendewasakan masyarakat dengan jalan membekalinya dengan konsep-konsep yang mudah dihayati dan diresapi dalam menghadapi persoalan hidup ini. Filsafat pewayangan membuat para pendukungnya merenungkan hakikat hidup, asal dan tujuan hidup, manunggaling kawula Gusti (hubungan gaib hamba dengan Tuhannya), kedudukan manusia dalam alam semesta, dan sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup) yang di awali dari talu dan diakhiri dengan tancep kayon. (Haryanto, 1991: 1-2). Baik Ramayana dan Mahabharata ada tiga lakon utama di dalamnya, yaitu tentang harta, tahta dan cinta. Nampaknya tiga lakon ini juga yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Semua yang tersaji di koran, radio, televisi, internet semuanya hanya masalah bagaimana mencari, merebut dan mempertahankan harta, tahta dan cinta.

Dari sisi yang terlihat, apa yang terlihat di wayang merupakan setiap aktivitas manusia dan alam itu sendiri. Manusia ini adalah wayang itu sendiri, blencong ibarat cahaya yang menerangi kehidupan manusia, kelir yang berwarna putih itu merupakan alam raya yang seimbang, sepi dan kosong, menunggu aktivitas manusia untuk mengisinya. Batang pisang itu ibarat tanah manusia berpijak. Adanya gendhing yang berasal dari gamelan yang ditabuh niyaga dan sinden (waranggana) merupakan alunan kehidupan manusia itu sendiri. Ada kala ada gendhing semangat, gendhing percintaan dan gendhing kesedihan. Ada wayang yang berjajar di sebelah kanan bagi yang bersifat baik dan wayang yang berjajar di sebelah kiri bagi yang bersifat buruk. Wajah dan bentuk wayang berbeda-beda menandakan begitulah perbedaan dan sifat manusia.

Wayang mengajari kita bagaimana kita harus berkata, bersikap, berpikir dan berhati. Wayang bukan hanya sebuah tontonan belaka melainkan sebuah tuntunan tentang kehidupan ini. Para Walisongo telah menggunakannya sebagai sarana dakwah dengan disesuikan ajaran-ajaran Islam.

Referensi
Haryanto. 1991. Seni Kriya Wayang Kulit. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media.
Susilamadya, Sumanto. 2014. Mari Mengenal Wayang Jilid I: Tokoh Wayang Mahabharata. Yogyakarta: Adi Wacana. (Minardi Kusuma) 
  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *