Lompat ke konten

Petikan Serat Kalatidha Tentang Pentingnya Gotong-royong

www.aisnusantara.com – Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Paranedene tan dadi, Paliyasing Kala Bendu, Mandar mangkin andadra, Rubeda angrebedi, Beda-beda ardaning wong saknegara. (Pupuh Sinom Padha 1 Serat Kalatidha)
(Purnomo, 2012: 13)

Kurang lebih maknanya:
Rajanya termasuk raja yang baik, Patihnya juga cerdik, Semua anak buah hatinya baik, Pemuka-pemuka masyarakat juga bagus, Meskipun demikian tidak menjadi, penolaknya zaman terkutuk atau bebendu, bahkan justru semakin merajalela, rintangan yang mengganggu, berbeda-beda pendapat orang seluruh negeri.


R. Ng. Ranggawarsito karyanya masih sangat dikenal di Indonesia, bahkan dunia khususnya di Belanda. Beliau termasuk adalah Pujangga Terakhir Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang sangat mahsyur dengan ramalannya. Beliau sendiri mempelajari dunia tulisan dan cenderung kepada ramalan saat berada di Ponorogo dengan mempelajari peninggalan-peninggalan Prabu Jayabaya. Tetapi ada yang unik salah satu tulisannya yang bernama Serat Kalatidha ini. Serat Kalatidha adalah suatu falsafah bukan ramalan. Alasannya adalah bahwa di dalam Serat Kalatidha itu tidak terdapat angka tahun baik dengan terang-terangan maupun dengan sengkalan seperti pada kebiasaan Ranggawarsita ketika menulis ramalan atau jangka. Kalatidha adalah suatu falsafah, yaitu merupakan falsafah hidup yang mengandung ajaran-ajaran dan pendidikan lahir batin. (Kamadjaja, 1964: 115)

Di dalam Serat Kalatidha ini pula terdapat satu istilah yang terkenal sampai saat ini. Kata itu adalah Zaman Edan atau zaman gila. Di mana menceritakan carut-marutnya kondisi masyarakat, pemerintahan bahkan alam sekalipun. Hawa nafsu semakin menjadi-jadi dan tidak bisa ditahan lagi, siapa yang mampu menahan maka konsekwensinya dia orang yang tertinggal dan tidak mendapatkan bagian maka tidak heran rebutan menjadi hal lumrah. Dalam kondisi yang carut marut orang-orang yang tetap ingat dan waspadalah yang akan mendapatkan keberuntungan.

Dalam konteks ini, penulis ingin menguraikan tentang satu bait di atas. Bait di atas paling sering dijadikan suluk oleh para dalang. Berisi tentang kondisi suatu bangsa yang memiliki raja yang baik, sampai para patih, anak buahnya dan para pemuka masyarakatnya pun baik namun ternyata belum mampu mengatasi zaman kalabendu bahkan semakin menjadi-jadi. Bait di atas ditutup dengan Beda-beda ardaning wong saknegara atau berbeda-beda pendapat orang seluruh negeri.
Ada tiga cara memandang dari bait mocopat di atas. (Jupriono, 2011: 22) Pertama, tembang ini barangkali sekadar merepresentasikan kondisi ironis keraton saat itu: penguasa orang pintar, tetapi nasib bangsa malah terpuruk. Sang Pujangga sengaja tidak mencoba memaparkan factor penyebabnya. Kedua, kemungkinan lainnya, Ranggawarsita justru ingin mengungkapkan hal yang sebaliknya: raja bukan ratu utama, melainkan manusia penuh angkaramurka; patihnya bukan patih linuwih, melainkan manusia bodoh tanpa kelebihan apa pun; para menterinya tidak mempunyai niat menyelamatkan bangsa (tyas rahardja), tetapi malah aktif merongrong keselamatan negara dengan korupsi; para punggawa dan prajurit kerajaan bukan orang baik-baik, melainkan lebih sebagai kumpulan preman berseragam militer. Jika ungkapan divulgarkan, sesungguhnya, Ranggawarsita hendak mengatakan: raja, patih, pembesar, prajurit, adalah orang orang busuk! Ketiga, Ranggawarsita mengakui bahwa raja, patih, menteri, serta punggawa dan prajurit kerajaan adalah orang-orang pilihan dan pintar-pintar. Jika keadaan malah rusak, pasti ada sesuatu yang kurang dalam diri mereka. Apa itu? Moral! Maka, kemungkinan ketiganya, Ranggawarsita sesungguhnya hendak mengajarkan suatu pesan moral bahwa setinggi apa pun pendidikan dan intelegensi penguasa, jika tidak memiliki integritas moral, segala keunggulan itu tidak berguna, malahan justru membahayakan bangsa. Pendapat ketiga ini nampaknya sama dengan yang akan penulis uraikan nanti.

Kondisi yang diceritakan di atas bisa dianggap mirip dengan kondisi saat ini. Kita meyakini bahwa pemimpin kita itu orang yang baik, baik secara sosial maupun intelektual, begitu pula wakilnya, para menteri, para tokoh agama dan masyarakat. Di dalam setiap tahun saja sudah berapa ribu sarjana dilahirkan dari perguruan-perguruan tinggi di Indonesia ini. Merka bukan orang yang kurang pengalaman, mereka itu orang yang cerdas dan memiliki nilai sosial tinggi.

Dari pengamatan yang penulis lihat, yang kurang dari itu adalah kerjasama dan ketaatan kepada pimpinan. Ada sebagian orang menafsirkan bahwa bait di atas menggambarkan bahwa pemimpin itu orang yang tidak mau tahu kondisi bawahannya. Namun, penulis ingin melihat dari sisi yang berbeda, cara melihat ini berdasarkan pengamatan yang selama ini penulis lihat. Di dalam Islam dan Jawa, bahwa aspek ilmu itu tidak bisa dilepaskan dari aspek adab atau akhlak. Tingginya ilmu, luasnya wawasan seseorang akan membuahkan dalamnya akhlak orang itu. Namun bait di atas menggambarkan yang sebaliknya. Orang yang pintar secara ilmu namun tidak dibarengi dengan adab akan mudah menyalahkan orang lain. Menyalahkan orang lain itu tidak hanya disampaikan secara lisan namun terkadang juga dalam bentuk gerakan. Dengan tujuan agar dia yang berbeda pendapat dengan kita harus disingkirkan dan diganti dengan kita, tanpa pandang bulu siapapun dia termasuk para pemimpin.

Pemimpin itu menderita inilah ungkapan KH Agus Salim kala itu. Karena bagaimanapun para pemimpin itu di dalam ujung fitnah dan memiliki tanggungjawab yang besar. Setiap gerak-geriknya diawasi dan harus siap dikritik karena ini demokrasi. Namun, sebagai rakyat seharusnya juga memiliki adab didalam penyampaian pendapat. Tidaklah layak di dalam Budaya Nusantara yang dianggap Adi Luhung ini, seseorang berkata kepada pimpinannya dengan cara yang tidak beradab. Memang niatnya untuk kebaikan, dan yang menyampaikan itu orang baik namun jika tidak dengan cara baik maka akan muncul permasalahan yang baru lagi.

Hal ini diperkuat dengan penafsiran penulis dari penutup bait di atas yaitu “Beda-beda ardaning wong saknegara atau berbeda-beda pendapat orang seluruh negeri. Hal ini menunjukkan beragam pendapat orang-orang tentang suatu permasalahan. Perbedaan pendapat yang seharusnya menjadi khazanah dan rahmat malah menjadi sebab dari perpecahan. Karena tidak ada ketaatan kepada pemimpin dan kerjasama atau kegotong-royongan. Misalnya di dalam suatu organisasi, orang-orang di dalamnya pandai-pandai namun atas sebab kepandaian konsekwensinya ada perbedaan pendapat di dalam organisasi itu. Pemimpin pun telah berusaha merangkul dan momong semua pendapat itu, tetapi kenyataannya orang berjalan dengan caranya masing-masing. Sehingga roda perjalanan organisasi itu tidak berjalan dengan baik, karena harus mengatasi gejala-gejala di dalam internal organisasi. Seorang pemimpin yang sebelumnya memiliki program kerja menjadi terganggu karena harus mengatasi orang-orang yang rewel.

Gotong-royong dan ketaatan kepada pemimpin ini adalah syarat untuk mengentaskan diri dari zaman kalabendu. Di saat mencari penyebab permasalahan, takutnya diri kita sendirilah masalah itu sendiri. Karena kita tidak memberikan karya dan enggan bekerjasama karena pemimpin kita adalah orang yang buruk. Dan terkadang kita ikut mencemooh pemimpin kita termasuk ingin menjatuhkannya. Zaman Edan dianggap akan berakhir dengan kemunculan Ratu Adil, siapa dia? Penulis menjawab itu ada di dalam diri kita sendiri-sendiri. Ketahanan Pribadi yang kuat yang akan mengawali kebaikan dari diri sendiri, yang paling kecil dan sekarang. Tidak suka membuat riuh suasana, jika mengkritik pun harus dengan cara santun.

Ada sebuah kisah dalam sejarah perjalanan Islam tentang cara Imam Hasan Bashri ra. Beliau seorang sufi tabi’in, seorang yang sangat takwa, wara’, dan zahid, dan dianggap dianggap sebagai pencetus tasawuf dan sufi. Beliau hidup di zaman Yazid bin Muawiyyah yang terkenal kejam dan suka berfoya-foya. Banyak pemberontakan terjadi sebagai bentuk ketidak-puasan masyarakat kepada Sang Khalifah. Kebangkitan yang terjadi di Mekah, bersamaan dengan kebangkitan masyarakat Madinah, dengan dipimpin oleh Abdullah bin Zubair, menyebabkan penguasaannya dan para sahabat-sahabatnya atas kota Mekah. Setelah tragedi Harrah dan pembunuhan masyarakat Madinah, pasukan Syam, dengan dipimpin oleh Hashin bin Namir as-Sukuni, bergerak menuju Mekah untuk memerangi Ibnu Zubair. Tidak lama kemudian, kota Mekah berada dalam kepungan pasukan Syam. Sepanjang pengepungan kota ini, Ka’bah terbakar akibat manjanik manjanik yang dilemparkan oleh pasukan Syam. Namun, Imam Hasan Bashri memiliki caranya sendiri untuk ikut-serta memperbaiki keadaan, bukan dengan cara kekerasan bahkan militer tetapi memunculkan sifat-sifat sufistik yang itu dilakukan oleh Rasulullah SAW dan Para Sahabatnya. Hal ini bisa dikatakan berhasil dengan dibuktikan salah seorang Khalifah setelah Yazid menjadi santri nya yaitu Umar II bin Abdul Azis yang sangat terkenal wara dan zuhud itu.

Oleh: Minardi, Mahasiswa Ketahanan Nasional, Sekolah Pascasarjana, UGM
Referensi:

Jupriono, D, Linusia Marsih. 2011. Pesan Moral Ranggawarsita Dalam Kalatidha Dan Serat Jaka Lodhang. Surabaya: Parafrase Vol.11 No.01 Februari 2011. Universitas 17 Agustus 1945

Purnomo, Agung. 2012. Komunikasi Politik Serat Kala Tida (Analisis Wacana Komunikasi Politik Serat Kala Tida Karya R.Ng. Ranggawarsit). Pasuruan: Jurnal Heritage, Vol 1 No 2 Januari 2012. Prodi Ilmu Komunikasi UYP.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *