Lompat ke konten

Syariah Yang Harus Disyariah

Oleh: Abdul Aziz Jazuli, Lc. 
Membicarakan “Islam” bagaikan membicarakan lautan yang tak bertepi, pembahasan yang tiada ujungnya. Kompleksitas syariah sudah tidak dipertanyakan lagi. Karena Islam itu sendiri mencakup segala aspek kemanusiaan, bahkan kebinatangan pun juga ada. Bagaimana tidak? Rasulullah saw telah bersabda: 
فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة، وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة، وليحد أحدكم شفرته، وليرح ذبيحته
“Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan sebaik-baiknya keadaan pembunuhan (dalam kasus qisosh), dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan sebaik-baiknya sembelihan, hendaknya salah satu dari kalian menajamkan pisaunya, dan memberikan  kenyamanan kepada hewan sembelihannya”. [HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi, dll]
Hadist ini memberikan pengertian bahwa Islam sangat memperhatikan aspek kemanusiaan dan kebinatangan. 
Penulis tertarik dengan sebuah statmen Muhammad Sayyid Qutub: “Islam itu bukan hanya yang terdapat di dalam matan-matan, syarah-syarah, dan hasyiyah-hasyiyah”. Di mana nilai-nilai keislaman dapat ditemukan di dalam teks-teks keagamaan seperti hadist di atas. Memang, kritik yang disampaikan oleh Sayyid Qutub ini sangat pedas bagi masyarakat luas. Tepi, fenomena yang terjadi memang seperti itu. 
Maksud dari Sayyid Qutub bahwa Islam tidak hanya terbatas pada yang tertuang di dalam kitab-kitab fiqih. Terutama dalam rentetan silsilah kitab muhtashorot (kitab-kitab ringkas) sampai mabsuthot (kitab-kitab yang uraiannya luas) dari berbagai madzhab. Tidak dipungkiri bahwa karya-karya tersebut adalah karya yang sangat bermanfaat, apalagi bagi kalangan pelajar yang baru mengenal hukum-hukum fiqih dari satu madzhab. Untuk kemudian setelah menguasai meteri satu kitab mukhtashor berpindah kepada kitab yang uraiannya lebih luas. Sebut saja setelah menguasai kitab safinah, ia berpindah ke Taqrib, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, Syarah Mahalli Alal Minhaj, Mughnil Muhtaj/Tuhfatul Muhtaj/Nihayatul Muhtaj, Raudhotut Tholibin, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Al-Bayan, Al-Hawi Al-Kabir, Nihayatul Mathlab, Sampai Kepada Al Umm Karya Imam Syafi’i. Itu merupakan silsilah madzhab syafii yang sampai sekarang masih dilestarikan. Hal serupa dapat dijumpai di madzhab-madzhab yang lain. Dengan kata lain, semua ulama memiliki sudut pandang yang berbeda, -walaupun terkadang sama- berdasarkan atas produk pemikiran yang ia hasilkan dari pemahamannya terhadap ayat Al Quran atau Sunnah Nabi. 
Bila kita sudah mengetahui bahwa semuanya adalah hasil ijtihad atau hasil pemikiran. Maka tidak bisa kita katakan bahwa itulah islam. Tapi, itu semua adalah bagian dari Islam. Karena jika kita perhatikan, tidak semua permasalahan yang baru disebutkan oleh para ulama tersebut. Sehingga membutuhkan hasil pemikiran yang baru dari tokoh-tokoh yang mengerti betul diskripsi permasalahan yang dikaji. Sebut saja contoh bayi tabung, asuransi, pajak, dsb. Ulama-ulama 200 tahun atau 300 tahun  lalu mungkin membahas sedikit dari permasalahan-permasalahan tersebut. Namun, apakah yang ada di benak mereka sama dengan diskripsi  permasalahan yang terjadi pada saat ini?. Terdapat banyak kemungkinan. Oleh karenanya, para ulama harus mengkajinya secara mendalam, dengan menggunakan metodologi, cara berpikir yang digunakan oleh ulama-ulama kita terdahulu. Tidak hanya menggunakan hasil produk pemikirannya ulama-ulama terdahulu saja. Tapi dengan menggunakan cara berpikir mereka hal itu akan sangat membantu kita dalam menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer, permasalahan yang baru yang -mungkin- tidak kita temui di karya-karya ulama terdahulu atau kita temukan akan tetapi dengan diskripsi yang berbeda. Oleh karenanya, kita membutuhkan pandangan-pandangan yang baru. Mungkin saya sebutkan beberapa ulama yang berspesialisasi dalam bidang  fiqih seperti Muhammad Syaltut, Yusuf Qordhowi, Ibnu Asyur, Abdullan bin Bayyah, Ali Jum’ah, Wahbah Zuhaili, Kyai Sahal Mahfudh dsb. Itu beberapa ulama yang mempunyai kerangka berfikir yang realistis yaitu menggunakan “cara berfikir” ulama terdahulu, tidak hanya menggunakan “produk  pemikiran” ulama terdahulu. Karena jika hanya menggunakan produk pemikiran mereka saja,  maka kita tidak akan menjawab tantangan zaman, terutama dalam permasalahan-permasalahan kontemporer yang pada zaman sebelum-sebelumnya belum dibahas, atau dibahas dengan diskripsi yang berbeda. Dan produk pemikiran ulama-ulama kontemporer juga merupakan bagian dari Islam, asalkan ia menggunakan argumentasi yang dapat dipertanggung-jawabkan dari sumber-sumber hukum yang diakui. 
Apa yang penulis uraikan di sini senada dengan statmen Ibnu Hazm Al Dhohiri bahwa: 
جميع ما استنبطه العلماء معدود من  الشريعة
“Semua yang hasil pemikiran para ulama dianggap sebagai bagian dari syariat Islam”
Dan sudah seharusnya kita mensyariatkan apa yang dianggap sebagai bagian dari syariat. Karena produk pemikiran ulama-ulama walaupun sudah mewakili sebagian besar dari syariat, tapi masih ada hal-hal yang tertinggal yang belum mereka bahas. Dan ini adalah pintu yang terbuka untuk generasi penerus untuk  melanjutkan apa yang telah mereka mulai. 
Rabu, 21 Jumadal Ula 1439

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *