Ketika Internet Menjadi Pintu Dunia
Melek Media Literasi Digital untuk Membangun Toleransi Negeri
Oleh: Anifatul Jannah, S.I.Kom*
Memasuki era digital akan terus diwarnai dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat. Ditandai dengan banyaknya aplikasi social media dengan vitur beragam yang telah memanjakan penggunakanya untuk berlama-lama didepan layar smart phone mereka. Jika dulu ada ungkapan “Buku adalah jendela dunia” tetapi sekarang lain menjadi “Internet adalah pintu dunia”. Antara jendela dan pintu pasti lebih mudah orang memasuki melalui pintu. Jadi untuk memasuki belahan dunia sana tidak lagi mahal, cukup mengeluarkan uang untuk beli kuota internet. Kemudian bisa menjelajah ke negara mana saja.
Dari perkembangan teknologi ini tidak bisa dibatasi juga arus informasi yang semakin banyak diproduksi oleh pihak-pihak dengan berbagai kepentingan. Kepentingan ini bisa positif dan negatif. Dengan adanya media sosial, setiap orang dengan mudah bisa memproduksi berita. Ketika seseorang memiliki akun media sosial, secara langsung dia sudah memiliki media sendiri untuk memproduksi sesuatu. Baik itu berupa berita, informasi, hiburan dan lainnya.
Tidak sedikit munculnya percikan api di kehidupan nyata yang berawal dari media sosial. Seperti beita-berita hoax yang dengan mudah di produksi dan disebar. Hingga akhirnya terjadilah propoganda dan membangun opini yang salah. Yang disayangkan adalah ketika pengguna media sosial kesulitan mengenali apakah ini berita hoax atau tidak. Karena itulah butuh kemampuan melek digital dan literasi. Supaya tidak mudah langsung mempercayai apapun yang sudah tersebar luas di media sosial. Sebab yang benar belum tentu yang banyak. Hanya saja masyarakat Indonesia seringkali mempercayai bahwa apa yang dilakukan atau dipercayai oleh orang banyak adalah sebuah kebenaran.
Seperti yang sering terjadi di media sosial negeri ini. Bermunculan orang-orang suka nyinyir, orang-orang yang hobi propoganda dengan membuat konten hoax, bermunculan isu kaum ekstrimiesme yang di sajikan di media sosial. Sehingga membuat opini masyarakat terkontruksi sedemikian rupa. Ketika pikiran masyarakat sudah dikontruksi oleh isu yang bias kebenaran ini. Maka akan dengan mudah muncul konflik yang dimulai dari media sosial yang berujung pada kenyataan.
Melihat agak kebelakang kasus yang telah terjadi terkait vonis penjara Ahok. Bukan tanpa sebab, semua itu terjadi bermula dari media sosial yang meviralkan video Ahok yang diduga menistakan al Qur’an. Sebenarnya jika diselesaikan secara baik-baik dengan pikiran terbuka melihat pokok masalahnya, dan umat muslim ekstrim tidak membesar-besarkan, mungkin bisa saja Ahok sekarang tidak dipenjara dan masalah selesai. Indonesia kembali damai dengan keberagaman agama. Sebagai seorang muslim jika saya boleh berandai-andai, jika saja saat ini Rasulullah hidup, pasti kejadiannya tidak seperti ini. Sebab di Indonesia sendiri seringkali menggunakan isu agama untuk menggulingkan seseorang dalam panggung politik. Inilah kenapa kekuatan media sosial jika sudah viral menjadi sangat mudah mengkontruksi pikiran orang banyak dengan cepat.
Selain kasus Ahok, masih banyak kasus-kasus diskriminasi di sekitar kita. Terlihat memang sepele karena terjadi di lapisan-lapisan kecil, akan tetapi jika dibiarkan bisa menjadi problem besar yang akarnya dari masa lampau. Seperti diskriminasi di lingkungan sekolah. Bagaimana bisa seorang siswa melakukan praktek diskriminasi pada temannya yang berbeda agama, juga temannya yang dari ras/suku berbeda atau karena ekonomi yang berbeda. Hal-hal seperti itu bisa saja akan terjadi disemua sekolah jika tidak ada tanggung jawab dari semua pihak yang berada disekitar anak. Seperti guru di sekolah juga orang tua di rumahnya.
Diskriminasi yang dilakukan oleh anak-anak ini bisa saja terjadi karena berbagai faktor. Seperti pendidikan di dalam rumah ini menjadi penting karena awal tumbuh anak bersama keluarganya. Anak-anak zaman sekarang jika menggunakan gadget harus dipantau dengan orang tua. Karena dari gadget inilah sumber berbagai informasi apa saja bisa masuk ke dalam pikiran anak. Kemudian pendidikan di lingkungan sekolah dan lingkungan bermainnya. Karena itulah untuk mengedukasi anak-anak dan remaja tentang betapa penting toleransi itu diterapkan dalam kehidupan bersosial bukanlah tugas guru di sekolah saja, melainkan tugas siapa saja yang berada dekat dengan anak itu.
Salah satu komunitas di Indonesia yang konsentrasi di media sosial adalah AIS (Arus Informasi Santri) Nusantara. Komunitas ini terdiri dari santri di seluruh Indonesia dengan latar belakang yang berbeda tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu digitalisasi dakwah ahlu sunnah wal jamaah untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘aalamin. Islam yang memberikan rahmat bagi seluruh alam, islam yang memberikan kasih tanpa pilih kasih. Islam yang damai dan ramah tanpa amarah. Juga konsisten dalam memproduksi konten-konten dakwah islami yang damai dan sejuk melalui instragram.
AIS Nusantara ini juga bisa disebut sebagai peace buzzer. Di dalam AIS Nusantara banyak penggiat media sosial dengan follower ribuan bahkan jutaan. Dengan alat inilah komunitas AIS Nusantara berusaha untuk kosisten membuat konten-konten dakwah digital yang ringan dan menarik agar mudah di pahami oleh orang awam bakan non islam sekalipun. Kemudian di sebarluaskan di media sosial secara bersamaan agar beranda banjir informasi yang sama.
Selain produksi konten, buzzer di AIS Nusantara ini juga selalu update trakait isu-isu yang sensitif. Jika memang mulai terjadi konflik yang panas. AIS Nusantara berusaha untuk meredam dan mengimbangi dengan menyebarkan secara massa konten yang dingin melalui buzzer yang ada di AIS Nusantara. Karena api tidak akan padam jika di lawan dengan api. Karena itu AIS Nusantara selalu menjadi air di tengah api. Mengimbangi konten panas yang memungkinkan berdampak pada konflik besar dengan konten sejuk mendamaikan.
Terbentuk pada tahun 2016, terbilang masih sangat baru hingga saat ini. AIS Nusantara dengan anggota yang terdiri dari santri di seluruh Nusantara, sudah menjadi komunitas yang dipertimbangkan keberadaanya. Karena selain bergerak di online, AIS Nusantara juga bergerak di offline dengan memberikan seminar tentang media literasi digital, bijak menggunakan media sosial dan lainnya.
Meski komunitas AIS Nusantara ini terdiri dari orang islam saja dan spesifik pada santri tidak membuat komunitas ini hanya berpihak pada santri dan islam saja. Karena Gus Dur sebagai bapak plularisme telah mengajarkan betapa indahnya merayakan keberagaman dengan saling menghormati, menghargai dan toleransi. Yang perlu di ingat adalah bahwa media sosial tidak hanya menjadi alat perlawanan. Tetapi juga bisa menjadi alat preventif sekaligus mediator damai. Seperti yang dilakuka oleh komunitas AIS Nusantara ini yang terus berusaha mengedukasi netizen untuk melek media dan literasi digital. Selain akan melawan jika terjadi isu diskriminatif, intoleransi dan lainnya. AIS Nusantara juga berusaha untuk terus mewarnai damai di media sosial dengan konten positif.
Anifatul Jannah, S.I.Kom adalah Mahasiswi Pascasarjana Islam dan Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sekretaris Nasional AIS (Arus Informasi Santri) Nusantara, Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia, Content Writer.