Saat Manusia Berkelahi dengan Waktu
Oleh: Minardi*
Jika menyebut Sang Hyang Bathara Kala atau Dewa Kala atau sering dilafalkan Bathara Kala pasti semua orang pernah mendengarnya. Khususnya di Tanah Jawa, Dewa yang satu ini menjadi momok dan paling ditakuti. Namun, di sisi lain, dewa ini pula yang paling dipersalahkan dalam setiap kecelakaan. Benar saja, dalam pewayangan Jawa, baik Ramayana maupun Mahabarata, Bathara Kala bersama Ibunya sekaligus istrinya, yaitu Dewi Durga mendapat julukan Dewa Kejahatan dan Tingkah Menyimpang. Bathara Kala akan memangsa siapa saja yang mendapat predikat sukerto, oleh karena itu bagi para sukerto harus mendapat ruwatan yang dinamakan Murwakala.
Murwakala adalah lakon yang biasa dipergunakan pada pertunjukan wayang kulit purwa dalam upacara ruwatan. Ruwatan adalah upacara yang dimaksudkan untuk membebaskan orang yang termasuk dalam kelompok sukerto yaitu orang-orang yang kejatuhan malapetaka yang kemudian akan menjadi makanan Bathara Kala (Rassers, 1982: 46). Ada sebagian orang yang masih percaya bahwa ruwatan merupakan tatacara hidup yang harus dipenuhi dan bila belum dipenuhi, maka orang tersebut merasa belum bebas dari kewajiban yang harus dilakukannya, andaikan tidak dapat memenuhi maka gelisahlah hidupnya (Subalidinata dkk, 1985: 3). Sehingga bisa dikatakan bahwa Murwakala atau Ruwatan merupakan cara Orang Jawa mengharapkan Keselamatan.
Ruwatan Murwakala mulai dipertunjukkan pada awal abad ke-17 yaitu pada zaman Sunan Nyakrawati Seda Krapyak oleh Dalang Ki Anjang Mas yang berasal dari Kedu. Sunan mengubah upacara ruwatan yang semula dilakukan dengan wayang beber atau wayang topeng menjadi wayang kulit dengan cerita Bathara Kala atau Dumadine Kala. Pola itu sampai sekarang digunakan sebagai pedoman ruwatan (Subalidinata dkk, 1985: 4). Ruwatan ada serangkaian acara yang harus dilalui, mulai dari ubo-rampe yaitu barang-barang yang harus disediakan, pakaian yang harus digunakan sampai ritual yang harus dilalui sampai dilangsungkannya pagelaran wayang kulit. Pagelaran wayang kulit ini bisa dalam bentuk pentas wayang kulit semalam suntuk, atau pun pakeliran padat yang hanya beberapa jam atau pun cukup satu wayang saja yang menjadi simbol untuk melakonkan cerita, yang sering dinamakan mBanyak Dalang.
Cerita yang diangkat dalam pagelaran wayang kulit ini berkaitan langsung dengan Bathara Kala. Saat dimana terjadi kama salah (air mani yang salah) milik Bathara Guru yang jatuh ke samudera. Lalu kama salah tadi tumbuh dan berkembang menjadi jabang bayi dan lalu menjadi sosok raksasa yang bernama Bathara Kala. Bathara Kala lalu menghadap ke Bathara Guru yang juga ayahandanya untuk meminta makanan karena lapar. Oleh Bathara Guru diberi makanan berupa anak-anak yang terkena sukerto yang jumlahnya banyak dan dari jenisnya. Ada anak laki-laki satu atau ontang-anting, ada anak perempuan satu atau unting-unting dan sebagainya yang kesemuanya boleh dimakan oleh Bathara Kala. Namun, ada sebagian dewa yang tidak setuju dengan sikap Bathara Guru ini, lalu mengutus Dewa Wisnu yang juga kakak Bathara Kala untuk turun ke dunia menyelamatkan mereka yang akan dimangsa Bathara Kala. Dewa Wisnu turun ke dunia dengan topo ngrame, bertapa dengan menolong kepada siapa saja yang membutuhkan, dengan cara jadi dalang yang bernama Dalang Kanda Buwana.
Siapa Bathara Kala itu?
Siapakah Bathara Kala itu? Apakah dia sosok raksasa yang siap memangsa yang menjadi sukerto? Atau dia pula yang menjadi penyebab kecelakaan bagi manusia? Jika diartikan secara harfiah, Bathara dimaknai sebagai Dewa atau Penguasa, sedangkan Kala adalah Waktu atau dimaknai secara bebas sebagai Penguasa Waktu. Jika ada anggapan Bathara Kala tidak bisa dibunung mungkin ada benarnya, karena memang waktu tidak bisa dibunuh ataupun dihentikan. Karena pada akhirnya, yang dimaksud sebagai Penguasa Waktu itu adalah diri kita sendiri. Di tangan kita lah Waktu mau dibawa ke mana, mau dipakai untuk kebaikan ataukah digunakan untuk maksiat. Bagi yang tidak pandai mengelola waktu dengan baik, maka terkesan waktu itu mengejar-ngejar kita. Sehingga kita menjadi tergesa-gesa dan berantakan dalam langkah. Nah, saat kesalahan kita mengelola waktu inilah terkadang terjadi kecelakaan yang pada akhirnya, simbolkan dengan dimakan Bathara Kala yang kemudian dipersalahkan.
Ini ternyata ada korelasinya dengan Ajaran Islam. Mengingat wayang ini menjadi sarana Para Walisongo dan penyebar Islam setelahnya untuk berdakwah. Di dalam Al Qur’an banyak terdapat ayat dan surat yang menekankan kepada waktu, mulai dari Al Falaq, Al Ashr, Al Lail dan sebagainya. Ajaran tentang waktu ini juga dipertegas di dalam Sabda-sabda Rasulullah, diantaranya ajaran tentang ingat lima perkara sebelum datang lima perkara. Bahwa kita harus “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu; [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu; [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu; [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu; [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.”
Waktu akan terus berjalan dan akan menggilas bagi siapapun yang tidak memanfaatkan dengan bijaksana. Sehingga, terkesan naif jika mempersalahkan sosok Bathara Kala padahal kita sendiri tidak pandai dalam mengelola waktu.
Referensi:
Rassers, W.H. 1982. Panji, the Culture Hero: a Structural Study of Religion in Java. The Hague: Martinus Nijhoff.
Subalidinata, R.S., Sumarti Suprayitno, Anung Tedjo Wirawan, 1985. Sejarah dan Perkembangan Cerita Murwakala dan Ruwatan dari Sumber-sumber Sastra Jawa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
Oleh: Minardi, Ketua LTN PCNU Klaten, Koordinator Divisi Scouting AIS Nusantara dan Mahasiswa Ketahanan Nasional, Sekolah Pascasarjana, UGM Kelas Kemenpora