Oleh: Abdul Aziz Jazuli, Lc.
Umat Islam, bahkan semua umat manusia pasti akan memiliki perbedaan. Baik, perbidaan tentang prinsip, pandangan, tradisi, dan status sosial. Perlu disadari bahwa perbedaan itu merupakan kehendak Allah yang secara sengaja diciptakan. Berbagai macam konflik pemicunya adalah perbedaan. Apalagi yang mengandung unsur SARA. Begitu banyak peperangan, pembakaran tempat ibadah, pembunuhan, penganiayaan, pengadu-dombaan, semuanya berdasarkan atas isu perbedaan.
Bukan perbedaan yang salah. Akan tetapi, menyikapi perbedaanlah yang mungkin kurang bijak dalam memilikinya. Dan bagaimanakah kita menyikapi perbedaan?
Sebelum menuju ke jawaban dari pertanyaan ini. Kita akan mencoba terlebih dahulu merenungi ayat-ayat yang menetapkan keniscayaan perbedaan. Diantaranya:
﴿وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ (118) إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ﴾ [هود: 118-119]
“Jika tuhanmu mau, sungguh ia akan menjadikan manusia menjadi satu warna, tetapi mereka akan selalu berbeda-beda” [Hud: 118-119]
Muhammad Abduh memberikan interpretasi atas ayat ini: “Tuhanmu telah menetapkan untuk menciptakan manusia dan menyerahkan dirinya kepada akal, upaya, dan usahanya. Maka ia merasa rancu dalam menyikapi perbedaan. Bahkan, perbedaan menggiring mereka kepada kehancuran. Kecuali mereka yang dikasihi oleh tuhannya”. [Tafsir Al Manar, 2, hlm 224]
Dapat difahami, bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dalam perbedaan; karena perbedaan merupakan perkara yang diinginkan oleh Allah, tidak dapat dipungkiri. Namun, untuk menghindari segala permusuhan, perpecahan, dan peperangan, Allah memberikan solusi yang dituturkan di dalam ayat yang lain:
﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا﴾
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali Allah, dan jangan sekali-kali terpecah belah”
Nilai-nilai persatuan dapat diambil dari ayat ini, bau-bau permusuhan dapat diminimalisir dengan ayat ini. Namun, jika satu pandangan yang sudah menguat, dan mengakar kuat di kalangan masyarakat dan seakan sudah menjadi konsensus, ijma dan kesepakatan mereka, Bagaimanakah kita menyikapinya? Apakah dengan melawan arus ataukah masih ada cara lain dalam bersikap?.
Mari kita cermati sejarah. Bagaimana para Walisongo (al-Auliya at-Tis’ah) mengembangkan dakwahnya melalui islamisasi budaya. Dengan menamkan nilai-nilai keislaman ke dalam budaya-budaya yang telah berkembang di tengah-tengah maysarakat. Tidak dengan melawan arus dengan merombak budaya-budaya yang sudah berkembang dan mengakar di kalangan masyarakat. Dengan upaya itu timbullah wayang kulit yang bernuansakan Islam dengan jimat kalimasada (kalimat syahadat), serta tembang-tembang ciptaan wali songo yang sampai saat ini masih dilestarikan. Seperti tembang lir-ilir, turi putih, dsb. Guna mengislamkan penduduk Indonesia, wali songo tidak melawan arus seperti yang dikembangkan oleh golongan-golongan kanan; karena mereka telah mengetahui bahwa upaya semacam itu justru yang didapatkan adalah penolakan terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Masih terdapat contoh lain. Yaitu sejarah Bangsa Indonesia pada masa pra-kemerdekaan. Di mana sebagian kelompok ingin memformalkan syariat Islam di dalam hukum positif Negara, di sisi lain ada kelompok yang tidak memformalkan Syariat Islam; karena mereka sudah membaca bahwa akan ada yang merasa dirugikan dari formalisasi Islam dan yang timbul adalah konflik, konflik dan konflik. Dan ternyata, karena bangsa ini sudah mulai dewasa setelah melewati masa puber. Maka yang lahir adalah Pancasila dan disepakati oleh semua bangsa Indonesia. Upaya para pendiri bangsa kurang lebih sama dengan upaya yang dilakukan oleh Wali Songo dalam menanamkan nilai-nilai keislaman di dalam kehidupan Bangsa dan Negara.
Gus Dur menguraikan ketimpangan kaum muslimin di Indonesia bahwa “Keadaan kaum muslimin saat ini sudah tidak menggembirakan lagi. Pendekatan faktual ini menekankan landasan pemikirannya kepada dasar-dasar kegamaan Islam yang mampu melakukan adaptasi dan memiliki fleksibelitas besar tanpa kehilangan inti ajarannya sendiri” [Islam Kosmopolitan, Gus Dur, 29]. Pada dasarnya kita tidak perlu memperlihatkan bahwa Islamlah yang mengatasi segala macam konflik permasalahan, sementara tidak ada upaya yang dilakukan untuk melebur suasana, memecahkan permasalahan dan memberikan solusi yang tepat. Akan lebih baik lagi jika tidak membawa-bawa nama Islam, akan tetapi gerakan-gerakan yang masif bernuansakan Islam. Tentu kita tidak akan rugi jika embel-embel Islam tidak kita bawa.
Dalam menyikapi problematika yang pada saat ini sedang ramai diperbincangkan di publik mengenai kriminalisasi ulama dengan upaya-upaya pengeniayaan ulama di beberapa daerah dengan pelaku orang-orang gila. Siapakah dalang di balik layar? Masih banyak kemungkinan-kemungkinan. Baik dari aktor politik, asing, atau bahkan oknum umat Islam sendiri. Kita tidak bisa menuduh siapa pelakunya jika tidak memiliki bukti yang konkret. Pada dasarnya, waspada adalah wajib satiap waktu. Namun, ketakutan, kekhawatiran, dan sikap yang berlebih-lebihan penulis rasa tidak perlu. Semua takdir manusia sudah ditentukan oleh Allah. Dan segala sesuatu yang berlebihan tidak baik bukan?.
Serang, 14 Februari 2018.