Lompat ke konten

KMNU UII HADIRI DISKUSI FIQH DISABILITAS DENGAN PW FATAYAT NU DIY

Rabu, 25 Juli 2018 – KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama) UII Yogyakarta menghadiri diskusi “Islam Ramah Disabilitas” dalam acara Sosialisasi Hasil MUNAS Lombok tentang Pemenuhan Hak Keagamaan Para Difabel. Acara yang diselenggarakan oleh PW Fatayat NU DIY ini dilaksanakan di Pusat Rehabilitasi Yakkum, Jalan Kaliurang KM 13, Sleman, Yogyakarta.
Acara ini menghadirkan 3 narasumber yang mendapat antusias luar biasa dari audiens, yaitu KH. Hasan Abdullah selaku Katib Syuriah PWNU DIY sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyyah Mlangi; Bahrul Fuad atau yang lebih dikenal dengan panggilan Cak Fu, alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang yang aktif dalam The Asia Foundation; dan Nurul Saadah Andriani sebagai Direktur SABDA (Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak) dan dihadiri oleh muda mudi yang berasal dari berbagai instansi yang memiliki kepedulian terhadap saudara kita yang memilki keterbatasan.
Cak Fu sebagai narasumber pertama menyampaikan bahwa di suatu kota di Indonesia telah didirikan MTTI (Majelis Taklim Tuli Indonesia), namun sayangnya majelis tersebut didirikan oleh golongan radikal. Beliau juga bercerita tentang pertama kali beliau menyuarakan fiqh disabilitas adalah ketika dirinya diundang sebagai pembicara di Pondok Pesantren milik KH. Said Aqil Sirodj. Hal-hal yang melatar belakangi dirumuskannya fiqh disabilitas adalah pendekatan ruhsokh yang diperuntukkan bagi mereka yang sakit –yang suatu hari bisa sembuh, namun tidak bagi orang-orang yang mengalami disabilitas-, tidak tersosialisasinya fiqh-fiqh tentang disabilitas, masih banyaknya fasilitas umum seperti masjid yang belum ramah (tidak accessible) terhadap orang-orang difabel, dan banyaknya jumlah disabilitas di Indonesia. 
Cak Fu kemudian menyampaikan bahwa seseorang diaggap mengalami disabilitas apabila memenuhi rukun disabilitas yang dinyatakan oleh KH. Afifuddin Situbondo pada pembahasan fiqh di Munas. Rukun-rukun tersebut adalah mempunyai hambatan fisik, mempunyai hambatan interaksi dengan lingkungan, dan mempunyai hambatan sosial. Cak Fu sangat menyayangkan orang tua yang menolak keterbatasan anak-anak yang difabel, apalagi sampai disembunyikan dari dunia luar. Beliau berpendapat ketika seorang anak yang mengalami disabilitas disekolahkan di SBL (Sekolah Luar Biasa) berarti dia memulai untuk membatasi dan memisahkan diri dari masyarakat. Pengalaman beliau mondok di Tambak Beras degan keterbatasan fisik menggugah dirinya bahwa disabilitas bukan suatu kekurangan karena sejatinya Allah menciptakan manusia dengan sempurna sehingga ada baiknya orang-orang yang mengalami disabilitas juga diperlakukan sebagaimana orang-orang pada umumnya, dengan diadakannya beberapa aturan khusus.
Berbeda dengan Cak Fu, Mbak Nurul bercerita tentang kegelisahan orang-orang disabilitas, terutama kaum hawa, dalam menjalankan ibadah, seperti bagaimana ketika haid, membedakan darah haid atau darah yg lainnya bagi mereka yang tuna netra, atau ketika khutbah pada sholat Jumat bagi orang-orang yang tuna rungu. Keterbatasan fisik bukanlah rintangan bagi mereka dalam belajar ilmu agama sedari kecil karena mereka juga memiliki kewajiban yang sama dengan orang-orang pada umumnya. 
Acara ini ditutup dengan penyampaian beberapa hasil Munas di Lombok oleh KH. Hasan Abdullah dan berfoto bersama. Diskusi menarik ini menumbuhkan semangat pada jiwa muda yang hadir untuk lebih peduli terhadap saudara-saudara kita yang mengalami disabilitas. (Nad/Min)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *