Semarang, 7/11/2022. Silaturrahim Bu Nyai Nusantara ke-3 membahas penanganan kekerasan seksual (selanjutnya disingkat KS) dalam forum Focus Group Discussion. Ada tiga hal penting yang wajib dilakukan setiap pesantren untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Yaitu edukasi, tafsir berkeadilan gender, dan sadar hukum bagi pengelola pesantren.
Petama, dalam pemaparan Nyai Hj. Tazkiyatun Muthmainnah, S.K.M, M.K.M, yang paling dasar bagi pesantren adalah edukasi seksual.
“Langkah awal pencegahan seksual adalah edukasi, atau sex education. Ini sangat penting. Misalnya bu Nyai di pesantren menyampaikan hal apa saja yang dilarang disentuh, apa saja yang masuk dalam kekerasan dan pelecehan seksual, dan sebagainya,” terang Ketua Fatayat PWNU Jawa Tengah.
Kedua, tafsir yang berkeadilan gender. Meskipun di pesantren cukup banyak mengkaji kitab relasi antara laki-laki-perempuan dan suami-istri, Uqudul Lujain, Qurrotun ‘Uyun, misalnya. Akan tetapi, potensi kekerasan seksual masih bisa terjadi. Bahkan masih ada bias gender dalam kitab-kitab yang dibaca. Oleh karena itu, penting mereinterpretasi turats agar lebih adil gender.
Nyai Hj. Dr. Nur Rofi’ah Bil.Uzm menerangkan pentingnya pembacaan yang berkeadilan gender di komunitas pesantren:
“Tafsir yang berkeadilan gender akan memberikan pandangan yang rahmah tanpa bias gender. Pada gilirannya, hal ini akan mencegah kekerasan seksual,” tegas dosen Pascasarjana PTIQ, Jakarta.
Nyai Nur Rofi’ah kemudian memberikan contoh bahwa al-Qur’an telah mengangkat derajat perempuan, seperti dalam pengalaman biologisnya:
“Contoh saja dalam ayat tentang haid bagi perempuan, betapa al-Qur’an memberikan pemahaman terhadap umat manusia, pengalaman sakitnya haid, bukan dijauhi dengan diasingkan, dianggap menjijikan, tetapi beri perhatian lebih atas derita sakit itu dengan tanpa ada hubungan seksual. Termasuk ayat tentang mengandung, hamil, menyusui dan lainnya,” jelas alumni Ilmu Tafsir, Univeristas Ankara, Turki.
Ketiga, penting bagi pengelola pesantren untuk sadar hukum. Sesi diskusi yang menyebutkan masih adanya kekerasan, semisal dalam bentuk takziran (sanksi) perlu untuk dibenahi formulanya. Pesantren perlu sadar hukum atas tindak kekerasan. Alangkah lebih baik, pesantren selalu mengedepankan pendidikan cinta kasih, rahmah agar para santri tertanam jiwa kasih saying.
“Pendidikan yang berbasis kasih saying, kiai dan nyai mengasuh dan mengasihi sepenuh hati para santri, wajib dilakukan. Ini akan menanamkan jiwa santri yang ramah. Bukan keras dan melakukan kekerasan,” tutur Nyai Muthmainnah.
Tiga hal hasil FGD ini selanjutnya akan didiskusikan dalam Pleno yang masuk dalam serangkaian Silatnas Bu Nyai Nusantara ke-3. Forum FGD dalam Silaturrahim ini terbagi menjadi tiga tema. Dua tema diskusi yang lain adalah sinergi gerakan perempuan pesantren membangun peradaban dunia dan peran perempuan pesantren mewujudkan perdamaian dunia.
Reporter: Badruzzaman