Kehidupan dinamika dunia pesantren selain dikembangkan keilmuannya dengan ajaran-ajaran Islam multikulturalisme oleh peran para Kiai. Serta para Kiai membangun cara berpikir santri-santrinya dengan keagamaan yang dinamis. Ada pula andil peran dari para Bu Nyai-nya.
“The Miracle of Love” para Bu Nyai kepada para santri di pondok pesantren-pesantren. Bu Nyai amat sangat penting peranannya di dalam siklus kehidupan para santri dan perkembangan Pesantren itu sendiri. Tidak jarang juga, Bu Nyai-Bu Nyai meluangkan waktu, bahkan berbagi cinta-kasih kepada para santri tanpa pamrih.
Karena sudah fitrahnya manusia dianugerahi Allah pikiran dan perasaan, termasuk Bu Nyai disitulah letak hakikat hidup, memang benar terkadang kenyataan tidak melulu seindah khayalan. Meskipun demikian, tanggung jawab moral setiap individu untuk menjadi besar adalah menjadi orang baik yang berbuat baik kepada banyak pihak atau orang.
Kehidupan terus berubah, begitu juga dengan tuntutan selera zaman. Tetapi manusia tetap seorang manusia, sejak zaman Nabi Adam hingga hari ini. Kapan pun dan di mana pun berada. Manusia tetap makhluk yang senantiasa dihadapkan oleh sekian tuntutan, antara yang baik dan yang buruk.
Ada keindahan sinergi antara Agama dan Budaya atas perilaku masyarakat terhadap ‘drama’ kehidupan di dalam karya novel beliau yang berjudul “Hati Suhita”.
Karya yang menurut hemat penulis sejatinya adalah sebuah reaksi dari ‘kegenitan’ Ning Khilma sebagai penulis wanita yang dengan hebat mempertahankan idealismenya. Tentu idealisme khas dari orang-orang pesantren (kaum santri), yang tetap menjaga tradisi kontemplasi dalam kesehariannya.
Dalam buku novel Hati Suhita, Ning Khilma telah memperkuat pemahaman konsep kesetaraan gender dalam ruang gerak keluarga besarnya (dalam hal ini tokoh Alina), serta menggambarkan pergaulan di lingkungan pesantren yang lebih progresif. Ada muatan intelektual, sosial, dan spiritual di dalam alur cerita Hati Suhita.
Saya berusaha untuk menjaga suasana hati ketika membaca buku Hati Suhita, memang jujur membaca buku fisik itu terkadang terasa membosankan dan monoton. Oleh karena hal itu saya tidak ingin menekan diri sendiri dengan membaca dari bab awal sampai terakhir.
Bagi saya, membaca buku tidak harus berurutan dari awal sampai akhir, dari bab 1 sampai bab terakhir. Boleh-boleh saja bukan, jika membacanya secara acak, semisal bisa dilihat dari bagian daftar isinya, dan melihat judul mana yang sekiranya menarik untuk dibaca terlebih dulu.
Saya sudah tiga kali membaca buku Hati Suhita, tetapi selalu saja dibuatnya terkesan dan penasaran. Membaca novel fiksi sering dianggap sebagai hobi yang remeh-temeh dan tidak bermanfaat. Karena alur kisahnya yang berpatok pada rekaan si penulis semata, dan itu dianggap tidak memberikan ilmu.
Berbeda hal dari membaca buku non fiksi dengan tema-tema yang lebih berat misalnya, filsafat, politik atau sains yang dinilai lebih sarat ilmu pengetahuan. Tetapi buat saya, buku fiksi itu luar biasa dampaknya bagi otak. Membaca buku fiksi mengajak kita berpetualang dalam dunia khayalan yang penuh dengan pelajaran hidup, seperti novel Hati Suhita yang berlimpah hikmah.
Seolah-olah ikut merasakan situasi dan kondisi suasana hati di dalam peran tokoh ceritanya tersebut. Dengan membaca karya fiksi telah membantu saya mengeksplorasi sudut pandang tertentu dan mengolah emosi yang begitu kompleks dan tidak bisa diketahui. Sebagaimana saya membaca tokoh “Alina” yang memiliki kekuatan cinta dan berhati jelita.
Tokoh Alina menjaga betul kaidah-kaidah dari filosofi hidup orang Jawa, mikul dhuwur, mendhem jero dan itu implementasi dari “birrul walidain”, kalau dalam ajaran Agama Islam. Kekuatan seorang perempuan Jawa yang pandai menutup-nutupi gejolak perasaannya memang tidak ada lawan.
Tokoh “Alina” nampak istimewa di mata saya, mungkin juga bagi para pembaca lainnya. Zaman boleh saja berubah-ubah, dan saya rasa sudah semakin langka untuk menemukan atau dipertemukan dengan tipe karakter wanita seperti tokoh “Alina”.
Menurut catatan sejarah, terdapat beberapa kitab karya pujangga kuno Jawa, tentang perempuan Jawa yang cantik jelita. Di antaranya adalah Aji Asmaragama, Katurangganing Wanita, Niti Mani, dan Serat Centini.
Wanita Jawa memang dikenal dengan kecantikannya. Selain cantik secara fisik, wanita Jawa juga memiliki kepribadian yang lembut dan berkarakter kuat. Tak ayal, banyak pria mengidamkan mendapat pasangan hidupnya berasal dari keturunan Jawa.
“Ada perempuan Jawa di dalam kepala saya” ketika membaca novel Hati Suhita-nya Ning Khilma. Buku ini menunjukkan kekuatan perempuan atas dunia percintaan yang dipikir hanya dikuasai oleh laki-laki, dalam hal ini dunia rumah tangga itu sendiri.
Namun dibalik keteguhan dalam memegang prinsip yang kuat dari wanita Jawa, yang tercermin oleh (tokoh Alina) dalam novel Hati Suhita. Pembaca akan menemukan upaya penulis untuk memperkuat pemahaman gender dengan cara yang berbeda di alur cerita antara tokoh Alina dengan tetap menuruti keputusan kedua orang tua untuk dijodohkan dengan Gus Birru.
Adapun kutipan dalam novelnya berbunyi begini ; “Aku memilih untuk mengagumimu dari kejauhan karena jarak melindungimu dari luka’’ (Hati Suhita).
Kesetaraan gender dalam ruang lingkup keluarga besar Alina telah menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar. Bukan hanya terkait dengan kesetaraan kedudukan hubungan suami-istri yang menjadikan suami-istri memiliki peran yang setara dalam pengambilan keputusan atau perencanaan keluarga ke depan, tetapi juga dalam berbagi peran suami-isteri dalam mengurus rumah tangga, dalam menambah penghasilan, maupun mengasuh, dan mendidik anak.
Sikap ini tercermin ketika Gus Birru (suami dari tokoh Alina) mendengarkan apa yang sudah diputuskan oleh Alina. Sebagai seorang suami, Gus Birru mendukung penuh Alina (istri) selama hal tersebut memberikan pengaruh positif. Sikap saling menghargai satu sama lain tentu akan membuat keluarga lebih harmonis dan bahagia.
Gus Birru sama sekali tidak diskriminasi pasangan (Alina). Adakalanya suami terkadang mendiskriminasi istri, karena berbagai hal, salah satunya masalah pemasukan, demikian pula sebaliknya. Hal ini tentunya tidak boleh dilakukan, karena pasangan yang didiskriminasi akan merasa dilecehkan.
Karya novel “Hati Suhita” merupakan simbol dari khasanah tradisi kekayaan budaya dan filosofi hidup Manusia Jawa yang dijaga dengan penuh cinta kasih penulisnya, yakni Khilma Anis.
Ada ungkapan beliau yang menyentuh hati saya, sewaktu saya mewawancarai beliau secara online,
“Menjual buku karya sastra tidak seperti menjual buku tulis. Sesiapa saja bisa membeli. Dalam karya sastra ada nilai-nilai cinta yang luhur dan tentu tidak bisa dibandingkan dengan harga, atau nominal uang”
Tangerang Selatan, 06 Juni 2023.
Oleh : Abdul Majid Ramdhani
Bionarasi ;
Abdul Majid Ramdhani, lahir di Jakarta, 05 Mei 1989. Penulis merupakan lulusan Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok dan melanjutkan mondoknya di Pesantren Al-qur’an Syihabudin Bin Ma’mun, Caringin Banten. Bagi diri penulis, “Menulis itu bisa menjadikanmu optimis, romantis & humanis”. Penulis juga lulusan KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam) di kampus STAI INDONESIA JAKARTA dan telah menerbitkan buku antologi puisi, cerpen, kumpulan cerpen dan novel pertamanya bersama Komunitas Gerakan Penulis Santri (GPS).