Lompat ke konten

Kolaborasi Orang-Orang Pesantren Dalam Menaklukkan Arus Deras Tren Konten

Sebagai insan kreatif, Content Creator yang merekonsiliasi kecanggihan teknologi menjadi sajian konten berbasiskan edukasi visual tentu memberikan dampak positif bagi para pengguna aktif media sosial yang kebanyakan anak-anak muda.

Konten-konten lokal bisa menjadi upaya konkrit dalam melestarikan eksistensi budaya baca, semisal ; menggarap hal-hal budaya lokal, informasi lokal yang bisa jadi selama ini belum mendapat sorotan oleh para Content Creator.

Content Creator adalah orang yang membuat konten edukatif dan inovatif yang bertujuan menghibur sesuai keinginan audiens atau publik. Konten yang dibuat oleh Content Creator dalam karya berupa foto, video, podcast, tulisan, digital art, dan audio book.

Pegiat digital, pemerhati digital, Content Creator, atau ada istilah lainnya, peran mereka dalam menawarkan gagasan serta cara pandang baru yang muncul dari percikan ide-ide dan gagasan tentang pengetahuan di berbagai bidang melalui perspektif anak-anak muda hari ini.

Dan dari akumulasi perspektif para Content Creator itulah yang merefleksikan nilai-nilai kebangsaan dan ke-Indonesiaan dalam landscape tayangan konten. Dengan menyajikan konten-konten dengan spirit muatan pengetahuan lokal tradisi budaya Indonesia, dapat mengantisipasi efek negatif dari gelombang deras informasi hoaks (informasi palsu) yang dapat menimbulkan gejolak perpecahan, pertikaian, bahkan salah kaprah di ranah media sosial.

Khasanah tradisi lokal yang sudah sepatutnya menjadi tolak ukur di dalam sebuah produksi pembuatan konten-konten. Karena diperlukan “kesepakatan” antara pesan atau informasi yang akan ditampilkan dengan budaya dan nilai-nilai kultur yang sudah ada.

Semisalnya, membuat program konten Tutur Literatur yang memiliki konsentrasi dalam bidang sejarah. “Karena menelusuri asal-usul sama dengan menghormati leluhur”

Para pegiat digital, content creator yang memproduksi konten-konten budaya lokal dan mengemasnya secara visual itu merupakan bagian dari visi humanisme di era digitalisasi ini yang tercermin dalam karya-karya inspiratif. Kaum Muda Milenial, termasuk santri didalamnya.

Anak-anak muda memiliki semua potensi yang diperlukan untuk menjadi titik sentral Literasi Digital. Karena mayoritas pengguna aktif media sosial adalah anak muda atau generasi milenial yang mengadopsi dari filosofi spirit semangat bambu runcing di era sistem globalisasi dan transformasi informasi dalam menghadapi tantangan ekonomi digital.

Sebagaimana mengembangkan potensi usaha yang direncanakan oleh kaum muda dengan memanfaatkan kebebasan interaksi dan ekspresi tanpa batas. Generasi milenial yang memiliki speed tinggi dalam menggunakan kecanggihan teknologi.

Lahir dari rahim manusia, tetapi “dibesarkan” dan diasuh oleh media sosial. Sebuah fenomena sosial yang menegaskan bahwa anak-anak jaman Now, yang mendidik sudah bukan kedua orang tuanya lagi melainkan gadget. Dengan adanya peralihan sistem pembelajaran secara manual (luring) kini secara digital (daring). Maka mau tidak mau, Anak-anak pun harus beradaptasi dengan alat teknologi atau gadget, tablet, bahkan laptop.

Sehingga melahirkan tatanan baru di dalam menyerap informasi, yang tentu dapat diakses oleh pengguna aktif internet di mana saja dan kapan pun saja secara keseluruhan. Pendistribusian informasi yang dapat diterima dalam genggaman kita (ponsel). Ini pun yang menjadi concern Komunitas Arus Informasi Santri (AIS) Nusantara untuk berperan aktif, serta lebih produktif dalam menumbuhkan ekosistem literasi digital.

“Jadilah seperti bunga yang memberikan keharuman bahkan kepada tangan yang merusaknya” (Ali bin Abi Thalib). Kutipan ini tidak terlalu berlebihan jika diibaratkan dengan gerakan AIS Nusantara (gais-gaisah) “jadilah seperti bunga” dan mengharumkan kota wilayahmu, tempat domisilimu bahkan pondok pesantrenmu dengan prestasimu. Karena setiap santri memiliki potensi.

Tentu beragam peran yang meliputinya serta gagasan-gagasan khas dari kaum santri yang memberi asupan intelektual dan membentuk laku spiritual, ialah apa saja yang mendefinisikan sesuatu ungkapan dan perlakuan terhadap sesama manusia. Tanpa terpapar radiasi intoleransi di dalam berkomunikasi, berinteraksi dan bahkan dalam memproduksi sebuah karya.

Karena tak cukup jika seorang santri hanya dengan mengatakan, meskipun ada ungkapan begini ; Undzur Man Qolaa Walaa Tandzur Maa Qolaa, lihatlah apa yang dikatakannya, jangan melihat siapa yang mengatakannya. Begitu kira-kira. Tetapi hari ini para santri mesti merespons zaman, termasuk era kemudahan digital.

Kaum santri dalam hal ini, Komunitas Arus Informasi Santri (AIS) Nusantara harus mengemas ajaran Islam rahmatan lil’alamin di ruang-ruang digital, bisa melalui konten tulisan, cerpen, puisi, artikel, opini, esai atau dengan menampilkan video konten yang mengangkat budaya lokal tapi dikemas menarik secara visual yang mendorong hasrat penonton, pengguna aktif medsos untuk dapat terpanggil dan juga bersemangat berkarya.

(18/12), (Abdul Majid, AISNU BANTEN).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *